Keuangan Syariah Tidak Negatif Spread
DAPMKUSANHILIR.OR.ID – Keunggulan keuangan syariah, terutama dalam daya tahannya terhadap terpaan krisis dan bukan lagi pada tataran teori, sudah terbukti. Salah satu penelitian yang dibuat oleh International Monetary Fund (IMF), yakni “The Effects of the Global Crisis on Islamic and Conventional Banks: A Comparative Study” menunjukkan bahwa secara umum bank syariah lebih kuat dibandingkan dengan keuangan konvensional saat krisis global.
Ada banyak sebab, mengapa keuangan syariah lebih kuat dibandingkan dengan keuangan konvesnional. Salah satunya adalah keuangan syariah terbebas dari negative spread.
Sumber pendapatan lembaga keuangan berasal dari pendapatan yang diperoleh dari nasabah peminjamnya (debitur). Pada sistem konvensional (riba) sumber pendapatan berasal dari bunga atau jasa, sedangkan pada lembaga keuangan yang menggunakan sistem syariah pendapatan tersebut bisa berbentuk bagi hasil ataupun margin (bagi akad jual beli). Pendapatan tersebut sebagian dialokasikan untuk membayar nasabah penyimpannya baik yang menyimpan dalam bentuk tabungan ataupun deposito.
Lembaga keuangan syariah dan lembaga keuangan konvensional memiliki mekanisme pengalokasian pendapatan dari debitur untuk biaya operasonal lembaga dan nasabah penyimpan yang berbeda. Perbedaan tersebut adalah sebagaimana uraian berikut ini.
A = Jasa dari debitur
B = Jasa untuk penyimpan
A berbentuk persentase dari pokok pinjmanan dan B persentase dari nominal tabungan/deposito.
Spread di lembaga keuangan konvensional mengikuti rumus berikut ini:
Sebagai contoh, jasa dari debitur adalah 3% dan jasa untuk penyimpan 2% maka spread untuk lembaga keuangan adalah 1% dari pokok pinjaman.
Semisal, jika seluruh pokok pinjaman adalah Rp1 miliar maka spread lembaga keuangan tersebut adalah 3% - 2% = 1%. Nominal 1% dari Rp1 miliar adalah Rp10 juta. Dana sebesar Rp10 juta itulah yang digunakan untuk biaya gaji dan biaya operasional lembaganya.
Sedangkan untuk lembaga keuangan syariah, mengikuti rumus sebagai berikut:
A = Pendapatan dari debitur (berbentuk bagi hasil ataupun margin, tergantung akad)
B = Bagi hasil atau hadiah untuk penyimpan, berbentuk persentase
Contoh:
Keuntungan dari para debitur adalah Rp30 juta, sedangkan persentase untuk penabung adalah 30%. Maka C, yakni porsi keuntungan untuk lembaga keuangan adalah 1 – B = 70%. Sehingga Spread untuk Lembaga keuangan adalah = Rp30 juta x 70% = Rp21 juta.
Kita tidak membahas angka-angka tersebut karena itu hanya contoh. Namun, yang kita perhatikan adalah sistemnya. Spread pada konvensional adalah menggunakan rumus pengurangan, sedangkan pada sistem syariah menggunakan rumus perkalian.
Kita harus membandingkan sistem tersebut dengan asumsi sebagai lembaga keuangan yang professional, sehingga nilai pada variable A tidak akan pernah negatif. Untuk sistem konvensional, meskipun A-nya tidak negatif, apakah mungkin terjadi spread yang negatif ? Atau, mungkinkah A nilainya lebih kecil dibandingka dengan B?
Faktanya, bukan hanya mungkin, tapi pernah terjadi. Yakni pada saat krisis moneter di era 1997 sampai 1999-an. Sedangkan pada sistem syariah, karena merupakan perkalian, maka tidak mungkin negatif.
Sekecil apapun nilai A, spread pada sistem syariah akan selalu positif. Itulah sebabnya, pada saat krisis moneter di Indonesia, bank yang spread-nya positif hanyalah Bank Muamalat Indonesia (saat itu baru BMI yang syariah). Sedangkan yang lain pada posisi negatif.
Tidak heran, pada saat krisis moneter melanda Indonesia, 64 bank terlikuidasi dan 45 lainnya bermasalah dan masuk dalam Bank Beku Operasi (BBO), yang berada di bawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Salah satu BBO saat itu di antaranya adalah Bank Central Asia (BCA).